SDFSDFSD

SDFSDFSD

Informasi Pendidikan

Pendidikan : Mampu membedakan antara apa yang Anda tahu dan apa yang tidak. Tahu ke mana harus pergi untuk mencari tahu apa yang Anda perlu tahu, dan mengetahui bagaimana menggunakan informasi setelah Anda mendapatkannya. - referensiku.blogspot.com.

Pengertian Pendidikan

Berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas adalah prinsip pendidikan - referensiku.blogspot.com.

Kata Motivasi Pendidikan

Metode lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode, dan jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri - referensiku.blogspot.com.

Tujuan Utama Pendidikan

Tujuan utama pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang mampu melakukan hal-hal baru, tidak hanya mengulangi apa yang generasi lain telah dilakukan. (Jean Piaget) - referensiku.blogspot.com.

Pendidikan dan Ide Baru

Seorang yang berpendidikan adalah orang yang dapat membuat ide baru, menghibur orang lain dan menghibur dirinya sendiri - referensiku.blogspot.com.

Tampilkan postingan dengan label MAKALAH AGAMA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MAKALAH AGAMA. Tampilkan semua postingan

Kamis, 27 November 2014

Makalah Tentang Akhlak Dalam Perjalanan


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perjalanan diartikan, perihal (cara, gerakan), yakni berjalan atau berpergian dari suatu tempat menuju tempat untuk suatu tujuan. Secara istilah, perjalanan sebagai aktifitas seseorang untuk keluar ataupun meninggalkan rumah dengan berjalan kaki ataupun menggunakan berbagai sarana transportasi yang mengantarkan sampai pada tempat tujuan dengan maksud ataupun tujuan tertentu.
Dalam istilah fiqh, kata safar diartikan dengan,  keluar bepergian meninggalkan kampung halaman dengan maksud menuju suatu tempat dengan jarak tertentu yang membolehkan seseorang yang bepergian untuk menqashar sholat.
Pada zaman Rasulullah, melakukan perjalanan telah menjadi tradisi masyarakat Arab. Dalam Al Qur’an Surah Al Quraisy yang disebut di atas, Allah mengabadikan tradisi masyarakat Arab yang suka melakukan perjalananpada musim tertentu untuk berbagai keperluan. Karena itu tidak heran jika Islam sebagai satu-satunya agama yang mengatur kegiatan manusia dalam melakukan perjalanan, mulai dari masa persiapan perjalanan, ketika masih berada dirumah, selanjutnya pada saat dalam perjalanan dan ketika sudah kembali pulang dari suatu
Dalam kehidupan modern, seiring dengan kemajuan pola hidup serta tingkat kesibukan seseorang melakukan perjalanan jauh (safar) merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Hal ini juga telah berlaku pada masa Rasulullah Saw., oleh sebab itu Islam melalui Rasulullah Saw. telah memberikan tuntunan yang terinci tentang akhlak dalam perjalanan, mulai dari persiapan, dalam perjalanan dan sampai ketika sudah kembali dari perjalanan itu sendiri.

B.     Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian pada latar belakang di atas, maka penulis menetapkan rumusan permasalahan yang menjadi inti pembahasan dalam makalah ini, yakni sebagai berikut :
a.       Apa pengertian Akhlak dalam perjalanan ?
b.      Bagaimana bentuk akhlak dalam perjalanan ?
c.       Apa Nilai Positif Akhlak dalam Perjalanan ?
d.      Ada Berapa Permasalahan Penting Dalam Safar ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Akhlak dalam Perjalanan
Secara etimologi, dalam bahasa Arab Perjalanan disebut dengan rihlah-safrah-masirah. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Perjalanan diartikan perihal (cara, gerakan) berjalan atau bepergian dari suatu tempat menuju tempat lain untuk suatu tujuan.
Secara terminologi Perjalanan didefinisikan sebagai "aktivitas seseorang untuk keluar ataupun meninggalkan rumah dengan berjalan kaki ataupun menggunakan berbagai sarana transportasi yang mengantarkan sampai pada tempat tujuan dengan maksud ataupun tujuan tertentu"

B.     Bentuk Akhlak dalam Perjalanan
Melakukan perjalanan yang diajarkan dalam Islam bertujuan untuk mencari ridha Allah, sebagaimana disinyalir oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya :

"Tidak seorang keluar meninggalkan rumahnya, kecuali di pintu rumahnya ada panji. Sebuah di tangan malaikat dan sebuahnya lagi di tengan setan. Kalau tujuannya kepada apa yang diridhai (disenangi) Allah Azza wa Jalla, maka dia diikuti malaikat dengan panjinya sampai dia pulang ke rumahnya. Apalagi tujuannya yang dimurkai Allah, maka setan dengan panjinya mengikutinya sampai dia pulang ke rumahnya." (HR.Ahmad).

Terdapat beberapa perjalanan yang dianjurkan oleh Islam, di antaranya:
  • Pergi Haji
  • Umrah
  • menyambung silaturahmi
  • menuntut ilmu
  • berdakwah
  • berperang di jalan Allah 
  • mencari karunia Allah. 
Di samping itu perjalanan berfungsi untuk menyehatkan kondisi jasmani dan rohani dari kelelahan dan kepenatan karena rutinitas sehari-hari.
Supaya umatnya selalu dalam ridha Allah, Islam telah mengajarkan beberapa tuntunan adab dan etika dalam melakukan perjalanan, yaitu sebagai berikut :
  • Sebelum Perjalanan
  1. Bermusyawarah dan Shalat Istikharah. Islam menganjurkan kebapa orang yang berniat dan hendak melakukan perjalanan jauh (safar), agar melakukan musyawarah dengan keluarga sebelum ia berangkat.
  2. Mengembalikan Hak dan Amanat kepada Pemiliknya. Jika niat melakukan perjalanan telah menjadi keputusan, maka yang harus dilakukan adalah : a). Melunasi hutang-hutang; b). Berpesan kepada keluarga tentang hutang-piutang; c). Mengembalikan hak dan amanat (titipan) kepada yang berhak.
  3. Membawa Enam Benda yang Disunahkan Rasulullah Saw., Dalam melakukan perjalanan, dianjurkan membawa enam macam benda, yaitu : gunting, siwak, tempat celak, tempat air untuk minum, istinja' dan wudhu'.
  4. Mengajak Istri ataupun Anggota Keluarga. Dalam ber-safar sebaiknya mengikutsertakan istri (bila sudah beristri), agar terhindar dari hal-hal yang bisa menimbulkan godaan setan.
  5. Wanita Tidak Boleh Pergi Seorang Diri. Islam melarang wanita ber-safar seorang diri (dalam jarak jauh), karena dikhawatirkan akan mengalami kesulitan dan dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah.
  1. Memilih Kawan Pendamping yang Shaleh. Untuk ber-safar dianjurkan membawa teman yang shaleh, agar dia dapat membantu melakukan hal-hal yang baik dan menjaga untuk terhindar dari kemungkaran.
  2. Mengakat Pemimpin Rombongan. Apabila ber-safar dengan rombongan, hendaklah mengangkat seorang pemimpin yang bijaksana, adil dan mengetahui permasalahan safar.
  3. Berpamitan kepada Keluarga dan Handai Tolan serta Mohon Do'a. Sebelum berangkat, seoorang musafir sebaiknya berpamitan dan memberi ucapan selamat tinggal kepada keluarga atau kawan-kawannya.
  4. Memilih hari Kamis dan Shalat Dua Raka'at sebelum Berangkat. Rasulullah Saw. sering mengawali perjalanannya pada hari Kamis dan ketika akan berangkat melakukan shalat dua rakaat.
  • Dalam Perjalanan
  1. Menolong Kawan Seperjalanan. Rasulullah Saw. dalam ber-safar selalu mengambil posisi paling belakang, agar bisa menuntun yang lemah, menaikkan orang yang lelah berjalan kaki ke atas kendaraan beliau dan berdo'a untuk seluruh rombongan yang mengikuti beliau.
  2. Tidak Lama Meninggalkan Istri. Bila ber-safar tidak membawa istri, sebaiknya tidak terlalu lama, karena dikhawatirkan akan mengancam kejujuran di antara suami-istri.
  • Ketika Sampai dan Kembali dari Perjalanan
  1. Takbir Tiga Kali dan Berdo'a. Setelah melakukan perjalanan atau dari medan perang, Rasulullah Saw. mengucapkan takbir tiga kali, lalu mengucapkan (artinya) : "Tiada sembahan selain Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi Allah kekuasaan dan pujian dan Dia mampu melakukan segala sesuatu. Kami pulang kembali bertobat, beribadah dan kepada Allah kami bertahmid."
  2. Jangan Pulang Mendadak. Rasulullah Saw. bila pulang larut malam, beliau tidak langsung mengetuk pintu, tetapi menanti sampai besok pagi.
  3. Shalat Dua Raka'at. Sekembali dari perjalanan, Rasulullah Saw. memasuki masjid, sgalat dua raka'at dan baru pulang ke rumah. Ketika memasuki rumah beliau mengucapkan istighfar (astaghfirullah hal-'azim).
C.    Nilai Positif Akhlak dalam Perjalanan
Imam Gazali mengatakan bahwa "Bersafarlah, sesungguhnya dalam safar memiliki beragam keuntungan". Adapun keuntungan melakukan perjalanan itu adalah :
  1. Melakukan perjalanan dapat menghibur diri dari kesedihan, kepenatan, kejenuhan dari rutinitas aktivitas atau me-refresh masalah-masalah yang membelenggu.
  2. Perjalanan merupakan sarana untuk meningkatkan penghasilan. Jika hanya berdiam di rumah tidak akan menemukan betapa luasnya karunia Allah.
  3. Perjalanan akan menambah ilmu pengetahuan dan wawasan. Baik karena pengamatan ataupun karena berjumpa dengan banyak orang.
  4. Dengan melakukan perjalanan, seseorang akan lebih mengenal adab kesopanan yang berkembang di suatu komunitas masyarakat.
  5. Perjalanan akan menambah kawan dan sahabat yang baik serta mulia, karena dalam melakukan perjalanan tentu akan bertemu dengan orang-orang yang beragam.
D.    Beberapa Permasalahan Penting Dalam Safar
1.      Bagi orang yang dalam perjalanan disyareatkan untuk mengqashar shalatnya semenjak ia keluar dari daerahnya.
2.      Jika telah masuk waktu shalat dan ia dalam keadaan mukim, lalu ia safar, kemudian ia shalat dalam safarnya, maka apakah ia shalat sempurna atau qashar ? Jawaban yang benar adalah qashar
3.      Jika dalam perjalanan ia teringat shalat yang mestinya ia lakukan di saat mukim, maka ia shalat secara sempurna2, dan jika ingat di saat mukim, shalat yang semestinya ia lakukan dalam safar, maka dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat apakah ia menyempurnakan shalatnya atau mengqashar. Pendapat yang benar adalah mengqashar (shalat).
4.      Jika seorang musafir shalat di belakang orang yang mukim, maka ia shalat empat rakaat secara mutlak meski tidak ia dapatkan kecuali tasyahud. Shalatnya seperti halnya orang yang mukim, empat raka'at.
5.      Jika orang yang musafir shalat bersama jamaah yang mukim, maka ia mengqashar shalat.
6.      Sunnah-sunnah Rawatib yang tidak dilakukan dalam perjalanan adalah shalat sunnah qabliyah dan ba'diyah Dzuhur, ba'diyah maghrib dan ba'diyah isya'. Adapun shalat sunnah qabliyah fajar dan shalat witir, maka tetap dilakukan. Orang yang musafir juga bisa melakukan Shalat Dhuha, shalat sunnah wudhu dan shalat tahiyatul masjid.
7.      Yang disunnahkan adalah meringankan bacaan surat (dalam shalat) ketika dalam perjalanan.
8.      Jika ia (orang yang musafir) menjamak shalat, maka hendaknya dikumandangkan adzan satu kali dan dua kali iqamat. Satu shalat satu iqamat. Ia boleh menjamak di awal waktu, pertengahannya atau akhirnya. Pada waktu-waktu tersebut adalah saat untuk menjamak dua shalat.
9.      Menjamak antara dua shalat dalam perjalanan adalah sunnah ketika Dibutuhkan.
10.  Mereka yang tidak diwajibkan menghadiri shalat jum'at seperti musafir dan orang yang sedang sakit, maka boleh bagi mereka untuk menunaikan Shalat Dzuhur setelah tergelincirnya matahari, walaupun imam belum memulai shalat jum'at.
11.  Musafir boleh melakukan shalat sunnah di atas mobil atau pesawat, sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalan, dari nabi yang shalat sunnah di atas hewan tunggangannya.
12.  Setiap orang yang dibolehkan untuk mengqashar shalat, maka boleh pula baginya untuk berbuka (tidak berpuasa), dan tidak sebaliknya.
13.  Bepergian di Hari Jum'at adalah dibolehkan.
14.  Dzikir yang diucapkan setelah shalat yang pertama pada shalat jama' tidak dilakukan.
15.  Tidak disyaratkan dalam safar niat untuk mengqashar (shalat).
16.  Banyak para ulama yang melarang untuk menjama' Shalat Ashar dan Jum'at.
17.  Mengqashar shalat hukumnya adalah sunnah muakkad, ada pula yang mengatakan wajib.
18.  Dibolehkannya mengqashar shalat adalah umum, baik itu safar dalam rangka ketaatan maupun maksiat. Inilah pendapat yang benar dan dipilih oleh Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyyah).
19.  Seorang wanita tidak boleh bepergian kecuali bersama muhrimnya yaitu suami atau setiap laki-laki yang sudah baligh, berakal yang haram atasnya wanita tersebut selamanya, karena nasab maupun sebab yang dibolehkan.
20.  Jika musafir menjama' antara Shalat Maghrib dan Isya' jama' taqdim, maka baginya telah masuk waktu Shalat Witir. Inilah pendapat yang kuat dari para ulama, dan tidak perlu menunggu sampai datangnya waktu Shalat Isya.
21.  Jika seorang musafir menjadi makmum dan ia ragu apakah imam orang yang mukim atau juga musafir, maka pada asalnya seorang makmum diharuskan untuk menyempurnakan. Tetapi jika si makmum berniat jika imam menyempurnakan shalat, maka aku juga akan menyempurnakan dan jika imam mengqashar aku juga akan mengqashar, maka hal itu adalah dibolehkan. Ini adalah bab menggantungkan niat dan bukan karena keraguan.
22.  Shalat Jum'at tidak diharuskan atas orang musafir yang sedang tinggal di sebuah negeri selama ia masih berstatus musafir.
23.   Jika orang yang musafir mendapatkan Shalat Jum'at, maka hal itu mencukupinya dari Shalat Dzuhur (maksudnya ia tidak perlu Shalat Dzuhur lagi), baik ia mendapatkan dua raka'at atau satu raka'at (bersama imam), lalu ia sempurnakan. Tetapi jika kurang dari satu raka'at, maka pendapat yang benar, ia boleh mengqashar .
24.  Jika ia bepergian di Bulan Ramadhan, maka ia boleh berbuka dan juga boleh berpuasa.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perjalanan didefinisikan sebagai "aktivitas seseorang untuk keluar ataupun meninggalkan rumah dengan berjalan kaki ataupun menggunakan berbagai sarana transportasi yang mengantarkan sampai pada tempat tujuan dengan maksud ataupun tujuan tertentu"
Supaya umatnya selalu dalam ridha Allah, Islam telah mengajarkan beberapa tuntunan adab dan etika dalam melakukan perjalanan, yaitu akhlak Sebelum Perjalanan,Dalam Perjalanan, dan Ketika Sampai dan Kembali dari Perjalanan.
B.     Saran
Sebelum melakukan perjalanan biasakan untuk memikirkan tujuannya, apakah perjalanan itu bernilai ibadah dan bermanfaat atau hanya sia-sia saja. Jika niat melakukan perjalanan tidak jelas, maka sebaiknya ditangguhkan ataupun dibatalkan. Segala keperluan dan bekal selama perjalanan harus disiapkan dengan lengkap, jangan biasakan membawa persiapan alakadarnya, agar nanti tidak menemui kesulitan di perjalanan.

DAFTAR PUSTAKA

http://asno-dharmasraya.blogspot.com/2011/11/akhlak-dalam-perjalanan.html
http://fatihulihsan.wordpress.com/2012/11/13/akhlak-perjalanan/
http://bingkycat.blogspot.com/2013/01/akhlak-dalam-perjalanan.html

Makalah Sumber Ajaran Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telah berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam. Sumber pokok ajaran Islam adalah Al-Qur’an yang memberi sinar pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman. Disamping itu terdapat as-Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an terhadap hal-hal yang masih bersifat umum. Selain itu para mujtahidpun menggunakan Ijma’, Qiyas. Sebagai salah satu acuan dalam menentukan atau menetapkan suatu hukum.
Untuk itu, perlu adanya penjabaran tentang sumber-sumber ajaran Islam tersebut seperti Al-Qur’an, Hadist, Ijma’, Qiyas, dan Ijtihad. Agar mengerti serta memahami pengertian serta kedudukannya dalam menentukan suatu hukum ajaran Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Al-Qur’an dan ruang lingkupnya.
2.      Kedudukan Hadist, Ijma; dan Qiyas.
3.      Pengertian Nash dan Syari’ah.
4.      Teori dan konsep istimbath hukum Islam.
5.      Pengertian ijtihad dan perbedaan mazdhab.

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui Al-Qur’an dan ruang lingkupnya.
2.      Untuk memahami kedudukan Hadist, Ijma’ dan Qiyas dalam menetapkan hukum Islam.
3.      Untuk mengetahui pengertian Nash dan Syari’ah
4.      Untuk mengetahui teori dan konsep istimbath hukum Islam.
5.      Untuk memahami ijtihad dan perbedaan mazdhab.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN AL-QUR’AN DAN RUANG LINGKUPNYA
  1. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hukum dan pedoman hidup bagi pemeluk Islam dan bernilai ibadat yang membacanya.
  1. Ruang Lingkupnya Al-Qur’an
Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada 5:
1.     Tauhid, kepercayaan terhadap Allah, malaikat-malaikat Nya, Kitab-kitab Nya, Rosul-rosul Nya, Hari Akhir dan Qodho, Qadar yang baik dan buruk.
2.      Tuntutan ibadat sebagai perbuatan yang jiwa tauhid.
3.      Janji dan Ancaman
4.      Hidup yang dihajati pergaulan hidup bermasyarakat untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
5.      Inti sejarah orang-orang yang taat dan orang-orang yang dholim pada Allah SWT.
  1. Dasar-dasar Al-Qur’an Dalam Membuat Hukum
1.      Tidak memberatkan
“Allah tidak membenari seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Misalnya:
a)      Boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.
b)      Boleh makan-makanan yang diharamkan jika dalam keadaan terpaksa/memaksa.
c)      Boleh bertayamum sebagai ganti wudhu’
 2.      Menyedikitkan beban
Dari prinsip tidak memberatkan itu, maka terciptalah prinsip menyedikitkan beban agar menjadi tidak berat. Karena itulah lahir hukum-hukum yang sifatnya rukhsah. Seperti: mengqashar sholat.
3.      Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum
Hal ini dapat diketahui, umpamanya; ketika mengharamkan khomr.
1)      Menginformasikan manfaat dan mahdhorotnya.
2)      Mengharamkan pada waktu terbatas, yaitu; sebelum sholat.
3)      Larangan secara tegas untuk selama-lamanya.

B.     KEDUDUKAN HADIST, IJMA’ DAN QIYAS
1.      Kedudukan Al-Hadist/Al-Sunnah
Nabi Muhammad sebagai seorang rosul menjadi panutan bagi umatnya disamping sebagai ajaran hukum. Baik yang diterima dari Allah yang berupa Al-Qur’an maupun yang ditetapkan sendiri yang berupa al-Sunnah. Banyak sekali masalah yang sulit ditemukan hukumnya secara eksplisit dalam Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama, maka banyak orang mencarinya dalam as-Sunnah.
Selain diindikasikan dalam Al-Qur’an, para ulama pun telah bersepakat untuk menetapkan al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam.
Sunnah yang dijalankan Nabi pada dasarnya adalah kehendak Allah juga. Dalam arti bahwa Sunnah itu sebenarnya adalah risalah dari Allah yang manifestasikan dalam ucapan, perbuatan dan penetapan Nabi. Maka sudah sepantasnya, bahkan seharusnya bilamana Sunnah Nabi dijadikan sumber dan landasan ajaran Islam.
2.      Kedudukan Ijma’
Kebanyakan ulama menetapkan, bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber ajaran Islam dalam menetapkan suatu hukum. Firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 59 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rosulnya dan Ulil Amri diantara kamu.”
Maka dapat disimpulkan bahwa, apabila mujtahid telah sepakat terhadap ketetapan hukum suatu masalah/peristiwa, maka mereka wajib ditaati oleh umat.
Ijma’ dapat dijadikan alternatif dalam menetapkan hokum suatu peristiwa yang didalam Al-Qur’an atau as-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
3.      Kedudukan Qiyas
Qiyas menduduki tingkat keempat, sebab dalam suatu peristiwa bila tidak terdapat hukumnya yang berdasarkan nash, maka peristiwa itu disamakan dengan peristiwa lain yang mempunyai kesamaan dan telah ada ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an. Mereka mendasarkan hal tersebut pada firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 2 yang artinya; “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran hai orang-orang yang mempunyai pandangan.”

C.    PENGERTIAN TENTANG NASH DAN SYARI’AH
1.      Pengertian Nash
Menurut bahasa, Nash adalah raf’u asy-syai’ atau munculnya segala sesuatu yang tampak. Oleh sebab itu, dalam mimbar nash ini sering disebut munashahat, sedangkan menurut istilah antara lain dapat dikemukakan di sini menurut:
a.       Ad-Dabusi:
Artinya:
“Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahar bila ia dibandingkan dengan lafzh shahir.”
 b.      Al-Bazdawi
“Lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafazh zhahir yang diambil dari si pembicaranya bukan dari rumusan bahasa itu sendiri.”
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari rumusan bahasanya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Atas dasar uraian tersebut, Muhammad Adib Salih berkesimpulan bahwa yang dimaksud nash itu adalah:
“Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakshish dan takwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasikh pada zaman risalah (zaman Rasul).”

Sebagai contoh adalah ayat Al-Qur’an, seperti yang dijadikan contoh dari lafazh zhahir.
وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَى.
Dilalah nash dari ayat tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum antara jual beli dan riba.
Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Di sini nash lebih memberi kejelasan daripada zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa.
2.      Pengertian Syari’ah
Dilihat dari sudut kebahasaan kata, syari’ah bermakna “Jalan yang lapang atau jalan yang dilalui air terjun.”
Syari’ah adalah semua yang disyari’atkan Allah untuk kaum muslimin baik melalui Al-Qur’an ataupun melalui Sunnah Rasul.
Syari’ah itu adalah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah bagi hamba-hamba Nya (manusia) yang dibawa oleh para Nabi, baik menyangkut cara mengerjakannya yang disebut far’iyah amaliyah (cabang-cabang amaliyah). Dan untuk itulah fiqih dibuat, atau yang menyangkut petunjuk beri’tiqad yang disebut ashliyah i’tiqadiyah (pokok keyakinan), dan untuk itu para ulama menciptakan ilmu kalam (ilmu tauhid).
Pengertian syari’ah menurut Syaikh Mahmud Shaltut yakni, syari’at menurut bahasa ialah tempat yang didatangi atau dituju manusia dan binatang untuk minum air. Menurut istilah ialah hukum-hukum dan tata aturan yang disyari’atkan Allah buat hamba-Nya agar mereka mengikuti dan berhubungan antar sesamanya.
Perkataan syari’ah tertuju pada hukum-hukum yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Kemudian dimasukkan kedalamnya hukum-hukum yang telah disepakati (di ijma’) oleh para sahabat Nabi, tentang masalah-masalah yang belum ada nashnya dan yang belum jelasa dalam Al-Qur’an ataupun as-Sunnah (masalah yang di ijtihad), juga dimasukkan kedalamnya hokum-hukum yang ditetapkan melalui qiyas. Dengan perkataan lain syari’at itu adalah hukum-hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan oleh Allah sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani, diikuti dan dilaksanakan oleh manusia didalam kehidupannya.
Pengertian syari’ah menurut Muhammad Salam Maskur dalam kitabnya al-Fiqh al-Islamy. Salah satu makna syari’ah adalah jalan yang lurus.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Jaatsiyah: 18
ثُمَّ جَعَلْنَكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِّنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَاوَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَآءَ الَّذِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ. (الجاثية: 18)

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jaatsiyah: 18)
para fuqaha memakai kata syari’ah sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para hamba-Nya dengan perantara Rasul-Nya, supaya para hamba-Nya itu melaksanakannya dengan dasar iman, baik hukum itu mengenai lahiriah maupun yang mengenai akhlak dan aqaid, kepercayaan dan bersifat batiniah.
Menurut asy-Syatibi di dalam kitabnya al-Muwafaqat, “Bahwa syari’ah itu adalah ketentuan hukum yang membatasi perbuatan, perkataan dan i’tiqad, orang-orang mukallaf.”
Demikianlah makna syari’at, akan tetapi jumhur mutaakhirin telah memakai kata syari’ah untuk nama hukum fiqh atau hukum Islam, yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. Atas dasar pemakaian ini, timbul perkataan: Islam itu adalah aqidah dan syari’ah sebagaimana dikemukakan Syekh Mahmud Shaltut. Syari’ah Islam adalah syari’ah penutup, syari’ah yang paling umum, paling lengkap, dan mencakup segala hukum, baik yang bersifat keduniaan maupun keakhiratan.

D.    TEORI DAN KONSEP ISTIMBATH HUKUM DALAM ISLAM
Bila para ulama hadist dihadapkan kepada suatu masalah, pertama kali para ulama ahlul haidst mencari penyelesaian masalah itu kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi/Rasul. Apabila para ulama hadist mendapat hadist yang berbeda-beda, maka mereka mengambil hadist sebagai sumber hukum, dari hadist yang diriwayatkan oleh para perawi hadist yang lebih utama dan memenuhi persyaratan. Kalau para ulama tersebut tidak menemukan hadistnya, selanjutnya mereka meninjau dan mempedomani pendapat para sahabat Nabi. Andaikata tidak juga diperoleh pendapat para sahabat mengenai masalah yang sedang dihadapi para ulama hadist tersebut, maka selanjutnya barulah mereka melaksanakan ijtihad untuk menyelesaikan suatu masalah hukum Islam, atau mereka belum/tidak menyampaikan fatwa kepada masyarakat. Masa mereka enggan berfatwa ini tidak lama, hanya sampai kepada masa wafatnya Imam Daud ibnu Ali. Para ulama Fuqaha sesudah itu selalu memperhatikan/melaksanakan fatwa, baik yang telah terjadi, walaupun yang belum atau mungkin terjadi, berarti mereka selalu melaksanakan ijtihad terhadap sesuatu masalah yang baru, dan belum teratur dasar hukumnya, sehingga segala masalah dapat mereka tentukan hukumnya berdasarkan hasil ijtihad para ulama hadist (aliran Madrasah Hadist).

E.     IJTIHAD DAN PERBEDAAN MAZDHAB
  1. Ijtihad
Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, ijtihad berarti; mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Sedang menurut pengertian syara’ ijtihad adalah:
اَ ْلإِجْتِهَادُ: اِسْتَفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ نَيْلِ جُكْمٍ َِرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ اْلإِسْتِنْبَاطِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.

Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah.
Adapun pengertia ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.
Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang). Dari sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluru alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan keluasan dan keluwesan hukum Islam.

  1. Perbedaan Mazdhab
Menurut bahasa mazdhab berarti “Jalan atau tempat yang dilalui.” Menurut istilah para Faqih Mazdhab mempunyai dua pengertian yaitu:
1.      Pendapat salah seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu masalah.
2.      Kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang imam.
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa pegertian mazdhab adalah: “Hasil ijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlaq Mustaqil) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”
Dengan demikian,bahwa pengertian bermazdhab adalah: “Mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang ukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”
Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid. Para Imam Mujtahid seperti Imam Hanafi, Maliki, Syahi’i dan Imam Ahmad bin Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebagian besar umat Islam. Untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing Imam Mazdhab bagi seseorang itu sangat terbatas, bahkan ada yang cenderung hanya ingin mendalami mazdhab tertentu saja. Hal ini disebabkan, karena pengaruh lingkungan atau karena ilmu yang diterima hanya dari ulama/guru yang menganut suatu mazdhab saja.
Menganut suatu aliran mazdhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan hendaknya menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran yang ada pada mazdhab yang lain yang juga bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Hal ini dimaksudkan, agar seseorang tidak fanatik kepada suatu mazdhab.
Andaikata sukar menghindari kefanatikan kepada suatu mazdhab, sekurang-kurangnya mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya.

Dibawah ini akan dikemukakan beberapa tokoh Imam Mazdhab.
A.    IMAM HANAFI
Dasar-dasar mazdhab Imam Hanafi dalam menetapkan suatu hukum.
1.      Al Kitab
Al Kitab adalah sumber pokok ajaran Islam. Segala permasalahan hukum agama merujuk kepada al-Kitab tersebut atau kepada jiwa kandungannya.
2.      As-Sunnah
As-Sunnah adalah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum (global).
3.      Aqwalush Shahabah (perkataan sahabat)
Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah. Karena menurutnya, mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Rasul sesudah generasinya.
4.      Al-Qiyas
Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas. Apabila ternyata dalam Al-Qur’an, Sunnah atau perkataan sahabat tidak beliau temukan.
5.      Al-Istihsan
6.      Urf
Pendirian beliau adalah mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta mempertahankan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak atau Qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara Qiyas) beliau melakukannya atas dasar istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan istihsan, beliau kembali kepada Urf manusia.

B.     IMAM MALIKI BIN ANAS
Dasar-dasar mazdhab Imam Maliki.
1.      Al-Qur’an
2.      Sunnah Rasul yang beliau pandang sah.
3.      Ijmak para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata berlawanan/tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
4.      Qiyas
5.      Istishlah (Mashalihul Mursalah)

C.    IMAM SYAFI’I
Dasar-dasar hukum yang dipakai Imam Syafi’i.
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an
2.      As-Sunnah
Beliau mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama perawi hadist itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung sampai kepada Nabi SAW.
3.      Ijmak
Dalam arti bahwa para sahabat semuanya telah menyepakatinya
4.      Qiyas
Imam Syafi’i memakai Qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum diatas tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa.
5.      Istidlal (Istishhab)

D.    IMAM AHMAD BIN HAMBALI
Imam Hambali dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan berlandaskan kepada dasar-dasar sebagai berikut:
1.      Nash Al-Qur’an dan Hadist, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.
2.      Fatwa Sahaby, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya, bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa pendapat itu merupakan Ijmak.
3.      Pendapat sebagian sahabat yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah, maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
4.      Hadist Mursal atau Hadist Daif. Hadist Mursal atau Hadist Daif akan tetap dipakai, jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang sahabat.
5.      Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan pada poin 1-4 diatas.

BAB III
KESIMPULAN

 Al-Qur’an merupakan sumber utama yang dijadikan oleh para mujtahid dalam menentukan hukum ajaran Islam. Karena, segala permasalahan hukum agama merujuk kepada Al-Qur’an tersebut atau kepada jiwa kandungannya. Apabila penegasan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an masih bersifat global, maka hadist dijadikan sumber hukum kedua, yang mana berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Sumber hukum yang lain adalah Ijmak dan Qiyas.
Ijmak dan Qiyas merupakan sumber pelengkap, yang mana wajib diikuti selama tidak bertentangan dengan nash syari’at yang jelas.

DAFTAR PUSTAKA
 
·         Rifai, Moh. Fiqih, CV. Wicaksana, Semarang, 2003
·         Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazdhab, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003
·         Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
·         Syafi’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1999.