SDFSDFSD

SDFSDFSD

Informasi Pendidikan

Pendidikan : Mampu membedakan antara apa yang Anda tahu dan apa yang tidak. Tahu ke mana harus pergi untuk mencari tahu apa yang Anda perlu tahu, dan mengetahui bagaimana menggunakan informasi setelah Anda mendapatkannya. - referensiku.blogspot.com.

Pengertian Pendidikan

Berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas adalah prinsip pendidikan - referensiku.blogspot.com.

Kata Motivasi Pendidikan

Metode lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada metode, dan jiwa guru lebih penting daripada guru itu sendiri - referensiku.blogspot.com.

Tujuan Utama Pendidikan

Tujuan utama pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang mampu melakukan hal-hal baru, tidak hanya mengulangi apa yang generasi lain telah dilakukan. (Jean Piaget) - referensiku.blogspot.com.

Pendidikan dan Ide Baru

Seorang yang berpendidikan adalah orang yang dapat membuat ide baru, menghibur orang lain dan menghibur dirinya sendiri - referensiku.blogspot.com.

Kamis, 27 November 2014

Islam Dan Tantangan Modernitas


Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah (transenden). Pada posisi ini Islam adalah pandangan dunia (weltanschaung) yang memberikan kacamata pada manusia dalam memahami realitas.
Meski demikian, secara sosiologis, Islam merupakan fenomena peradaban, realitas sosial kemanusiaan. Pada wilayah ini nilai-nilai Islam bertemu dan berdialog secara intens dengan kenyataan hidup duniawi yang selalu berubah dalam partikularitas konteksnya.
Dialog antara universalitas nilai dan partikularitas konteks menjadi penting dan harus selalu dilakukan agar misi Islam sebagai rahmat semesta alam dapat diwujudkan. Ketidakmampuan berdialog dapat menjebak agama pada posisi keusangan (kehilangan relevansi) atau pada posisi lain kehilangan otentitasnya sebagai pedoman hidup.

Zaman Modern
Modern berarti baru, saat ini, up to date. Ini adalah makna obyektif modern. Secara subyektif makna modern terkait erat dengan konteks ruang waktu terjadinya proses modernisasi. Nurcholis Majid melihat zaman modern merupakan kelanjutan yang wajar pada sejarah manusia. Setelah melalui zaman pra-sejarah dan zaman agraria di Lembah Mesopotamia (bangsa Sumeria) sekitar 5000 tahun yang lalu, umat manusia memasuki tahapan zaman baru, zaman modern, yang dimulai oleh bangsa Eropa Barat laut sekitar dua abad yang lalu (Majid; 2000, 450).
Zaman baru ini, menurut Arnold Toynbee seperti yang dikutip oleh Majid, dimulai sejak menjelang akhir abad ke 15 M ketika orang Barat berterima kasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri karena telah berhasil mengatasi kungkungan Kristen abad pertengahan.
Zaman modern merupakan hasil dari kemajuan yang dicapai masyarakat Eropa dalam sains dan teknologi. Pencapaian tersebut berimbas pada terbukanya selubung kesalahan dogma gereja setelah manusia berhasil mengenal hukum-hukum alam dan menguasainya. Pengetahuan tersebut menjadi kritik terhadap gereja dan berujung pada sikap anti gereja. Maka, di era ini, manusia menjadi penguasa atas diri dan hidupnya sendiri. Doktrin teosentris (kekuasaan Tuhan) yang dihegemonikan gereja selama abad pertengahan diganti dengan doktrin manusia sebagai pusat kehidupan (antroposentrisme).
Sebagai kritik atas masa lalu, zaman modern banyak memutus nilai-nilai dan jalan hidup tradisional dan digantikan dengan nilai-nilai baru berdasar sains yang dicapai manusia. Di era ini manusia mencipta pola hidup baru yang berbeda dengan era sebelumnya. Tentang hal ini David Kolb menyatakan “we are developing something new in history” (Kolb; 1986, 2).
Kepercayaan diri manusia modern membuat banyak dari mereka yang mengasumsikan zaman modern sebagai puncak perkembangan sejarah kemanusiaan. August Comte, salah seorang ilmuan positivis, mengakui bahwa sejarah peradaban manusia mengalami tiga tahap perkembangan; 1) teologis, dimana manusia memahami alam sebagai hasil campur tangan Tuhan. Tahap ini terbagi dalam tiga sub: animisme, politeisme, dan monoteisme. 2) metafisika. Pada tahap ini peran Tuhan di alam digantikan oleh prinsip-prinsip metafisika, seperti kodrat. Dan tahap terakhir 3) adalah positif.
Tahap ini diwarnai oleh keyakinan yang cukup besar pada kemampuan sains dan
teknologi. Manusia tidak lagi mencari sebab absolut ilahiah dan berpaling pada pemahaman hukum-hukum yang menguasai alam.(Donny Gahral Adian; 2002,
65-66).
Penguasaan atas sains dan teknologi membawa bangsa-bangsa Eropa ke arah kemajuan luar biasa hingga mampu menandingi dan menguasai bangsa-bangsa Islam. Kolonialisasi menjadi pilihan yang diambil bangsa-bangsa penguasa baru tersebut.  Kolonialisme dilakukan bukan hanya dengan senjata mesin, tetapi juga tata nilai, ideologi dan kultur. Maka, terjadilah pergesekan antara nilai baru yang dibawa oleh bangsa kolonial dengan kultur asli bangsa muslim.

Tantangan Modernitas 
Pergulatan modernitas dan tradisi dalam dunia Islam melahirkan upaya-upaya pembaharuan terhadap tradisi yang ada. Harun Nasution menyebut upaya tersebut sebagai gerakan pembaruan Islam, bukan gerakan modernisme Islam. Menurutnya, modernisme memiliki konteksnya sebagai gerakan yang berawal dari dunia Barat bertujuan menggantikan ajaran agama Katolik dengan sains dan filsafat modern. Gerakan ini berpuncak pada proses sekularisasi dunia Barat (Nasution; 1975, 11).
Berbeda dengan Nasution, Azyumardi Azra lebih suka memakai istilah modern dari pada pembaruan. Azra beralasan penggunaan istilah pembaruan Islam tidak selalu sesuai dengan kenyataan sejarah. Pembaruan dalam dunia Islam modern tidak selalu mengarah pada reaffirmasi Islam dalam kehidupan muslim. Sebaliknya, yang sering terjadi adalah westernisasi dan sekularisasi seperti pada kasus Turki (Azra; 1996, xi)
Apa yang disampaikan Azra adalah kenyataan modernisme dalam makna subyektifnya, sedangkan Nasution mencoba melihat modern dengan makna obyektif. Memang harus diakui, ekspansi gagasan modern oleh bangsa Barat tidak hanya membawa sains dan teknologi, tetapi juga tata nilai dan pola hidup mereka yang sering kali berbeda dengan tradisi yang dianut masyarakat obyek ekspansi.
Baik dalam makna obyektif atau subyektifnya, modernitas yang diimpor dari bangsa Barat membuat perubahan dalam masyarakat muslim, di segala bidang. Pada titik ini umat Islam dipaksa memikirkan kembali tradisi yang pegangnya berkaitan dengan perubahan yang sedang terjadi. Respons ini kemudian melahirkan gerakan-gerakan pembaruan.
Tetapi, pembaruan Islam bukan sekedar reaksi muslim atas perubahan tersebut. Degradasi kehidupan keagamaan masyarakat muslim juga menjadi faktor penting terjadinya gerakan pembaruan. Banyak tokoh-tokoh umat yang menyerukan revitalisasi kehidupan keagamaan dan membersihkan praktek-praktek keagamaan dari tradisi-tradisi yang dianggap tidak islami.

Islam Dan Perubahan
Muara yang diharapkan dari proses dialektika nilai-nilai Islam dengan modernitas adalah keberlakuan Islam di era modern. Ini terjadi jika upaya tersebut berhsil dengan baik. Sebaliknya, ketidakberhasilan proses tersebut dapat membuat agama kehilangan relevansinya di zaman modern. Peristiwa penolakan terhadap geraja di awal zaman modern di Eropa dapat terulang kembali dalam konteks yang berbeda, dunia Islam.
Islam memiliki potensi kuat untuk menjawab tantangan tersebut.
Ernest Gellner, seperti yang dikutip Majid, menyatakan bahwa di antara tiga agama monoteis; Yahudi, Kristen dan Islam, hanya Islamlah yang paling dekat dengan modernitas. Ini karena ajaran Islam tentang universalisme, skripturalisme (ajaran bahwa kitab suci dapat dibaca dan dipahami oleh siapa saja, tidak ada kelas tertentu yang memonopoli pemahaman kitab suci dalam hierarki keagamaan), ajaran tentang partisipasi masyarakat secara luas (Islam mendukung participatory democracy), egalitarianisme spiritual (tidak ada sistem kerahiban-kependetaan), dan mengajarkan sistematisasi rasional kehidupan sosial (Majid, 467).
Yusuf Qardhawi menilai kemampuan Islam berdialog secara harmoni dengan perubahan terdapat dalam jati diri Islam itu sendiri. Potensi tersebut terlihat dari karakteristik Islam sebagai agama rabbaniyah (bersumber dari Tuhan dan terjaga otentitasnya), insaniyah (sesuai dengan fitrah dan demi kepentingan manusia), wasthiyyah (moderat-mengambil jalan tengah), waqiiyah (kontekstual), jelas dan harmoni antara perubahan dan ketetapan (Qardhawi; 1995).

Pembaruan Islam
Meski Islam potensial menghadapi perubahan, tetapi aktualitas potensi tersebut membutuhkan peran pemeluknya. Ketidakmampuan pemeluk Islam dapat berimbas pada tidak berkembangnya potensi yang ada. Ungkapan yang sering dipakai para pembaru Islam untuk menggambarkan hal ini adalah “al-Islam mahjub bi al-muslimin).
Dalam mengaktualisasikan potensi tersebut, pemeluk Islam difasilitasi dengan intitusi tajdid (pembaruan, modernisasi). Ada dua model tajdid yang dilakukan kaum muslim: seruan kembali kepada fundamen agama (al-Qur’an dan hadith), dan menggalakkan aktivitas ijtihad. Dua model ini merupakan respons terhadap kondisi internal umat Islam dan tantangan perubahan zaman akibat modernitas. Model pertama disebut purifikasi, upaya pemurnian akidah dan ajaran Islam dari percampuran tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan Islam. Sedang model kedua disebut dengan pembaruan Islam atau modernisme Islam (Achmad Jainuri; 1995, 38).
Di sini, Tajdid memiliki peranan yang signifikan. Ketiadaan rasul pasca Muhammad SAW. bukan berarti tiadanya pihak-pihak yang akan menjaga otentitas dan melestarikan risalah Islam. Jika sebelum Muhammad SAW. peranan menjaga dan melestarikan risalah kerasulan selalu dilaksanakan oleh nabi atau rasul baru, pasca Muhammad SAW. peran tersebut diambil alih oleh umat Islam sendiri. Rasul Muhammad SAW. pernah menyatakan bahwa ulama` merupakan pewarisnya, dan di lain kesempatan ia menyatakan akan hadirnya mujaddid di setiap seratus tahun.
Dalam proses tersebut, setiap ajaran Islam mengalami pembaruan yang berbeda-beda, bahkan ada yang tidak boleh disentuh sama sekali. Aqidah dan ibadah merupakan domain yang sangat tabu tersentuh proses perubahan. Yang bisa dilakukan dalam kedua wilayah tersebut adalah pembersihan dari aspek-aspek luar yang tidak berasal dari doktrin Islam. Di sini berlaku kaidah “semua dilarang kecuali yang diperintah”.
Berbeda dengan itu, aspek muamalah (interaksi sosial) merupakan wilayah gerak tajdid dengan sedikit tabu di dalamnya. Pada aspek ini nilai-nilai Islam mewujudkan dirinya berupa paradigma (cara pandang) kehidupan.
Ajaran Islam menyediakan pedoman-pedoman dasar yang harus diterjemahkan
pemeluknya sesuai dengan konteks ruang waktu yang melingkupinya. Pada wilayah ini yang berlaku adalah kaidah “semua dibolehkan kecuali yang dilarang”.
Menurut Kuntowijoyo (Kuntowijoyo; 1997, 170) penerjemahan nilai-nilai tersebut bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Yang pertama berangkat dari nilai ajaran langsung ke wilayah praktis. Ilmu fiqh merupakan salah satu perwujudan yang pertama ini. Sementara yang kedua berangkat dari nilai ke wilayah praktis dengan melalui proses filsafat sosial dan teori sosial terlebih dahulu (nilai-filsafat sosial-teori sosial). Sebagai contoh adalah ayat yang menjelaskan Allah tidak akan
merubah suatu kaum jika mereka tidak merubah dirinya sendiri. Nilai perubahan ini harus diterjemahkan menjadi filsafat perubahan sosial, kemudian menjadi teori perubahan dan baru melangkah di wilayah perubahan sosial.
Keberadaan tajdid menjadi bukti penting penghargaan Islam terhadap kemampuan manusia. Batas-batas yang ada dalam proses tajdid bukan merupakan pengekangan terhadap kemampuan manusia, tetapi sebagai media mempertahankan otentisitas risalah kenabian. Ketika agama hanya menghadirkan aspek-aspek yang tetap, abadi, tidak bisa berubah maka yang terjadi adalah ketidakmampuan agama mempertahankan diri menghadapi zaman. Akibatnya, agama akan kehilangan relevansinya. Ini seperti yang terjadi pada gereja di abad pertengahan.
Sebaliknya, jika aspek-aspek yang tetap, abadi dan tidak berubah tersebut tidak ada dalam agama, maka agama akan kehilangan otentitasnya sebagai pedoman hidup manusia. Di sinilah, kekhasan Islam seperti yang disebut Qardhawi di atas berperan. Islam berdiri di tengah-tengah. Islam mengandungi ketetapan-ketetapan di satu sisi, dan keluwesan-keluwesan di sisi lainnya. Dengan sikap terebut Islam bisa tetap eksis di tengah perubahan zaman tanpa kehilangan otentitasnya sebagai agama ilahiah.
Gagasan pembaharuan Islam dapat dilacak di era pra-modern pada pemikiran Ibn Taymiyah (abad 7-8 H/13-14 M). Taymiyah banyak mengkritik praktek-praktek islam populer yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan menyerukan kembali kepada syariat. Gerakan lain dilakukan oleh Muhammad Abdul Wahab di Arabia pada abad ke 18 M yang menolak dengan keras tradisi yang tidak Islami (Jainuri; 2002, 15-17).
Jika pembaharuan pra-modern dilakukan sebagai otokritik praktek keagamaan populer masyarakat muslim, pembaruan era modern merupakan respons umat Islam terhadap tantangan yang ditawarkan oleh modernitas Barat. Di era ini tercatat beberapa tokoh yang cukup populer seperti al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, Sayyid Sabiq, Muhammad Iqbal, dll.
Proses pembaharuan era modern mengalami dinamikaa yang cukup kompleks. Keinginan harmonisasi Islam dengan modernitas melahirkan banyak pemikir dengan karakteristik yang berbedaa-beda. Sebagian pemikir tampak wajah puritanismenya, dan sebagian yang lain condong pada modernitas, bahkan, terjebak pada pengagungan nilai-nilai modern (seperti sekularisme).

Penutup
Modernitas yang melanda dunia Islam, dengan segala efek positif-negatifnya, menjadi tantangan yang harus dihadapi umat Islam di tengah kondisi keterpurukannya. Umat Islam dituntut bekerja ekstra keras mengembangkan seagala potensinya untuk menyelesaikan permasalahannya. Tajdid sebagai upaya menjaga dan melsetarikan ajaran Islam menjadi pilihan yang harus dimanfaatkan secara maksimal oleh umat Islam. Upaya tajdid harus terus dilakukan, tidak boleh berhenti meski memerlukan cost yang besar. Wallahu a`lam

Makalah Islam Dan Kepedulian Sosial


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kepedulian sosial merupakan tema penting dari sekian banyak tema-tema dalam al-Qur'an.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 177 Allah berfirman:

لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّآئِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُواْ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاء والضَّرَّاء وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَـئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS:Al Baqarah: 177)

Jadi disini jelas segala perbuatan ibadah apapun itu yang disebut sebagai kebajikan atau amal shaleh juga harus diikuti dengan penghayatan dan perasaan saling mengasihi sesama manusia, peduli pada orang lain itulah yang disebut kebajikan, dan orang yang berbuat demikian adalah orang yang bertaqwa.
Allah mengecam orang-orang yang menumpuk-numpuk harta hanya untuk mengejar simbol, meraih kekuasaan dan kesenangan hidup didunia saja tanpa peduli dengan kesusahan sesama, dan kepedulian sosial. Dan Allah swt mengancam orang yang berbuat demikian dengan neraka jahim.

A.    Rumusan Masalah

Dari Latar belakang tersebut, maka perlu kiranya penulis untuk menjelaskan secara rinci mengenai Kepedulian Islam dalam Islam.

B.     Tujuan

Adapun tujuan yang diharapkan penulis dalam pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang Aspek-aspek Islam dalam hal memaknai kepedulian sosial terhadap sesama.

BAB II
PEMBAHASAN

Konsep kepedulian sosial dalam Islam sungguh cukup jelas dan tegas . Bila diperhatikan dengan seksama, dengan sangat mudah ditemui bahwa masalah kepedulian sosial dalam Islam terdapat dalam bidang akidah dan keimanan , tertuang jelas dalam syari’ah serta jadi tolak ukur dalam akhlak seorang mukmin.
Begitu juga Allah menghargai mereka yang melaksanakan amal sosial dalam konteks kepedulian sosial tersebut sebagaimana juga Alah sangat mengecam mereka yang tidak mempunyai rasa kepedulian sosial.
Di saat kondisi seperti sekarang ini, sesungguhnya sebuah ladang jihad maal menanti bagi kaum yang berada. Rasululullah bersabda : “Belum beriman seseorang itu sebelum ia mencita saudara nya seperti mencitai dirinya sendiri”.
 Hadis ini shahih dan cukup populer di kalangan kau muslimin umum sekalipun. Yang subtansif pada hadis ini adalah mengaitkan iman dengan masalah sikap hati –dalam hal ini− mencintai orang lain selain dirinya. Mencintai orang itupun ditentukan bobotnya oleh Rasulullah yaitu sama dengan mencintai diri sendiri. Rasanya ini sangat berat dan sulit dilaksanakan, namun jika iman itu benar - benar ada dan hidup dalam jiwa maka yang berat dan sulit itupun sangat bisa terealisir.
      Terdapat beberapa dimensi dalam pemaparan islam terhadap konsep-konsep   kepedulian islam diantaranya adalah :
1.      Dari Dimensi Aqidah dan Keimanan.
Iman kepada Allah merupakan rukun utama dan pertama dalam Islam. Bagaimana implikasi kepada Allah dijelaskan oleh Al−Quran dan hadis. Salah satunya berkaitan dengan kepedulian sosial.antara lain, misalnya surah al−Anfal ayat 2:
“Sesungguhnya orang−orang beriman itu hanyalah (1). mereka yang jika disebut nama Allah maka gemeyar hatinya. (2) dan apabila dibacakan kepadanya bertambah keimanannya (3) dan mereka bertawakkal kepadanya.(4) Mereka yang melaksanakan sholat dan (5) menafkahkan sebagian harta yang diberikan kepada mereka…”
Jadi menafkahkan sebagian harta (no:5) untuk orang lain termasuk indikasi/ukuran bagi keimanan sesorang dalam kehidupan ini.Hadis−hadis yang menekan hal ini cukup banyak antara lain Siapa yang beriman dengan Allah dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamu/tetangga.
2.      Dari Dimensi Syari’ah/Hukum
Dalam Islam, para pemberontak negara harus diperangi sampai habis total dan tuntas.Termasuk disini adalah mereka yang tak mau bayar zakat.Artinya tidak mau bayar zakat merupakan kesalahan besar di mata hukum Islam. Islam juga mewajibkan amar makruf nahi mungkar yang kesemuanya terkait dengan hukum dan segala konsekwensinya. Orang yang yang tidak memberi makan fakir miskin dapat terjerat vonis pedusta agama.
3.      Dimensi Akhlak
Dalam Islam seseorang dianggap mulia, jika ia memelihara anak yatim. Orang yang paling disenangi Allah adalah mereka yang paling dermawan. Orang−oarang yang berinfaq/bersedekah diberi ganjaran pahala sampai 70 x lipat. Dalam hadis Rasulullah disebutkan bahwa Allah akan selalu membantu hambaNya selama hamba tersebut membantu saudaranya. Pada hadis lain Rasulullah menyebutkan, bahwa bakhil itu sifat tercela dan pemboros itu adalah kawan−kawan setan.
Jika dibahas secara terinci, tentang kepedulian Islam terhadap masalah sosial maka kita akan menemukan bahwa ternyata amal ibadah secara umum lebih banyak berurusan dengan hamblum minannas ketimbang hablum minallah. Cuma kesemuanya itu harus dikunci dengan prinsip utama
kepedulian sosial, terutama kepada orang-orang yang lemah secara ekonomi, saat ini terasa semakin banyak diabaikan. Orang-orang yang mampu banyak yang sibuk dengan kariernya, bisnisnya atau sibuk mementingkan kehidupannya sendiri, sehingga terlena dan akhirnya lalai dengan kepedulian sosialnya. Mereka mengabaikan dengan kondisi orang-orang yang lemah seperti ini. Kondisi ini secara nyata semakin terlihat di kota-kota besar seperti Jakarta, dimana jurang pemisah antara si mampu dengan si lemah semakin lebar. Makin lebar dan dalam jurang menganga, keharmonisan hubungan sosial diantara kita bisa rusak dan hancur.
Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin telah memberikan petunjuk-petunjuk mu’amalah (interaksi sosial) dan mengatur hak-hak individu dengan yang lainnya. Ajaran kasih sayang, kewajiban zakat fitrah dan zakat harta, anjuran-anjuran berinfaq dan bersedeqah, petunjuk agar saling tolong menolong di dalam kebaikan dan taqwa, ajaran persaudaraan, hak-hak tetangga, perintah agar berlaku adil dan petunjuk-petunjuk mu’amalah lainnya merupakan ajaran-ajaran kepekaan dan kepedulian sosial.
 Berbagi dengan orang lain adalah salah satu wujud kepedulian social yang tercermin dalam beberapa contoh, antara lain :
  • Kalau kita memiliki waktu, berbagilah dengan waktu kita untuk membantu orang lain.
  • Kalau kita memiliki tenaga berbagilah tenaga kita untuk membantu orang lain.
  • Kalau kita memiliki harta, berbagilah dengan harta kita untuk membantu orang lain.
  • Kalau kita memiliki ilmu, berbagilah dengan ilmu yang kita miliki untuk membantu orang lain.
  • Kalau kita memiliki semangat dan motivasi, berbagilah dengan semangat dan motivasi dengan orang lain.
  • Bahkan kalaupun hanya sekedar senyum, berbagilah senyum kebaikan dengan orang lain.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sesungguihnya pintu-pintu kepedulian sosial itu ada banyak sekali. Yang diperlukan adalah Kesadaran kita untuk mau berbagi dengan sesama kehidupan ini, bukan hanya mementingkan ego pribadi kita. Orang yang mengaku beriman, hakikatnya ‘bukan beriman’ (tidak sempurna) kalau tidak peduli dengan orang-orang lemah di sekitarnya.

Dengan kepedulian sosial maka akan tercipta keharmonisan sosial yang kuat, suasana kekeluargaan, dan saling membantu satu sama lain. Sudah selayaknya kita yang diberikan anugerah yang tak ternilai dari Allah Tuhan Yang Maha Pengasih ini, bersyukur dengan mau berbagi dan peduli dengan sesama kehidupan yang membutuhkan pertolongan. Marilah kita saling mengingatkan dan terus.
 B.     Saran
Demikianlah makalah yang saya buat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Metodologi Studi Islam. Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya mohon ma’af atas segala kekurangannya. Dan kami berharap adanya kritik dan saran yang dapat membantu dalam penyempurnaan makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan manfa’at bagi pembuat makalah khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Tim Penceramah JIC. 2005. Islam Rahmat Bagi Alam Semesta.Jakarta : Pustaka Alvabet
Muhsin M.K. 2004. Bertetangga & Bermasyarakat Dalam Islam.Jakarta : Al Qalam
ekojalusantoso.com/?p=88 Diakses pada tanggal 6 Desember 2011 
http://pks-jepang.org/archives/266 Diakses pada tanggal 6 Desember 2011 

Jumat, 31 Oktober 2014

CONTOH MAKALAH ALIRAN FILSAFAT ESENSIALISME


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Filsafat pendidikan adalah ilmu yang mempelajari dan berusaha mengadakan penyelesaian terhadap masalah-masalah pendidikan yang bersifat filosofis. Secara filosofis, pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang terus menerus dikembangkan berdasarkan cita-cita dan tujuan filsafat serta pandangan hidupnya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang melembaga di dalam masyarakatnya.
Pendidikan yang bersendikan atas nilai-nilai yang bersifat modernisasi dapat pula menjadikan pendidikan itu kehilangan arah. Berhubung dengan itu pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih yang mempunyai tata yang jelas dan yang telah truji oleh waktu. Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif selama 4 abad belakangan ini, dengan perhitungan Zaman Renaissance, sebagai pangkal timbulnya pandangan-pandangan esensialistis awal. Essensialisme percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.
Dengan pengembalian pola pendidikan pada pengambilan nilai-nilai masa lalu, esensialisme percaya bahwa keefektifan pembelajaran akan tercipta. Esensialisme sangat menekankan pada pendidikan dimasa lalu dan cenderung tidak mendukung dengan pola pendidikan masa kini atau yang sering disebut sebagai modernisasi pendidikan. Bagi esensialisme pola-pola pendidikan masa lalu lebih memberikan banyak kemutakhiran pola berpikir yang ada dalam diri siswa. Modernisasi dianggap sebagai zaman yang hanya menambahkan banyak nilai-nilai baru yang kalah dengan nilai-nilai lama dalam hal menghasilkan siswa yang berkompeten, sehingga nilai-nilai lamalah yang mempunyai peranan penting jika dilihat dari kacamata esensialisme.
Oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan memaparkan mengenai  aliran filsafat esensialisme.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa latar belakang munculnya aliran filsafat esensialisme ?
2.      Apa prinsip-prinsip filosofis aliran filsafat esensialisme ?
3.      Bagaimana implikasinya terhadap pendidikan ?
4.      Apa tanggapan kelompok mengenai aliran filsafat esensialisme ?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui latar belakang munculnya aliran filsafat esensialisme.
2.      Untuk mengetahui prinsip-prinsip aliran filsafat esensialisme.
3.      Untuk mengetahui implikasinya terhadap pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang Filsafat Esensialisme
Secara etimologi, esensialisme berasal dari bahasa Inggris yakni “Essential” yang berarti inti atau pokok dari sesuatu dan “Isme” berarti aliran, mazhab atau paham.
Esensialisme dikenal sebagai gerakan pendidikan dan juga sebagai aliran filsafat pendidikan. Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance (zaman kelahiran kembali) dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan Progresivisme, perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh dengan fleksibilitas, dimana terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejeasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. Menurut esensialisme, yang esensial (sesuatu yang bersifat inti atau hakikat fundamental, atau unsur mutlak yang menentukan keberadaan sesuatu) harus diwariskan kepada generasi muda agar dapar bertahan dari waktu ke waktu, karena itu esensialisme tergolong Tradisionalisme.
Sekitar tahun 1930 timbul organisasi yang bernama Essensialist Committee for the Advancement of Education. Salah seorang tokohnya yang terkenal adalah William C. Bagley (Imam Barnadib, 1984). Arthur K. Ellis, dkk. dalam bukunya “Introduction to The Foundation of Education” yang terbit pada tahun 1981 mengemukakan bahwa Essensialisme berakar dari aliran filsafat Idealisme dan Realisme. William C. Bagley (1876-1946) adalah pemimpin gerakan Essensialisme dalam melawan gerakan Progresivisme dari John Dewey dan W. H. Kilpatrick (Madjid Noor, dkk, 1987).
 Idealisme dan Realisme adalah aliran-aliran filsafat yang membentuk corak Esensialisme, sebagaimana yang dipaparkan oleh Brameld “bahwa esensialisme ialah aliran yang lahir dari perkawinan dua aliran dalam filsafat yakni idealism dan realism”. Sumbangan yang diberikan oleh masing-masing ini bersifat eklektik, artinya dua aliran filsafat ini bertemu sebagai pendukung Esensialisme, tetapi tidak lebur menjadi satu. Berarti, tidak melepaskan sifat-sifat utama masing-masing.
B.     Prinsip-Prinsip Filosofis
1.      Hakikat Manusia
Pandangan ontologis esensialme merupakan suatu konsepsi bahwa dunia atau realita ini dikuasai oleh tata (order) tertentu yang mengatur dunia beserta isinya. Hal ini berarti bahwa bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita, dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan tata tersebut.
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Di balik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Dengan menguji menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.
Realisme modern yang menjadi salah satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. Manusia memiliki intelegensi ia mampu berpikir, dan karenanya dapat menyesuaikan diri terhadap dunia eksternalnya sehingga tetap bertahan diri dalam perjuangannya menghadapi dunia eksternalnya.
2.      Hakikat Realitas
Sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsepsi bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula, ini berarti bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tata tersebut. Dibawah ini adalah uraian mengenai penjabarannya menurut realisme dan idealisme.
a.        Realisme yang mendukung esensialisme disebut realisme objektif karena mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam serta tempat manusia didalamnya. Terutama sekali ada dua golongan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi realisme ini. Dari fisika dan ilmu-ilmu lain yang sejenis dapat dipelajari bahwa tiap aspek dari alam fisik ini dapat dipahami berdasarkan adanya tata yang jelas khusus. Ini berarti bahwa suatu kejadian yang sederhanapun dapat ditafsirkan menurut hukum alam, seperti misalnya daya tarik  bumi.
b.    Idealisme objektif mempunyai pandangan kosmos yang lebih optimis dibandingkan dengan realisme objektif. Yang dimaksud dengan ini adalah bahwa pandangan-pandangannya bersifat menyeluruh yang boleh dikatakan meliputi segala sesuatu. Dengan landasan pikiran bahwa totalitas dalam alam semesta ini pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit, idealisme menetapkan suatu pendirian bahwa segala sesuatu yang ada ini nyata. Ajaran-ajaran Hegel memperjelas pandangan tersebut diatas.
3.      Hakikat Pengetahuan
a.       Epistemologi Idealisme
Pandangan mengenai pengetahuan bersendikan pada pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang adanya merupakan refleksi dari Tuhan dan yang timbul dari hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Karena itu, dalam diri manusia tercermin suatu harmoni dari alam semesta, khususnya pikiran manusia (human mind). Manusia memperoleh pengetahuan melalui berpikir, intuisi, atau introspeksi.
Kriteria kebenaran idealism yaitu pikiran atau kesadaran adalah primodial. Sejak kehidupan ada, sejak itu pula pikiran atau kesadaran ada. Kesadaran atau pikiran manusia bertugas membangun suatu rancangan dunia dalam yang dianggap paling mendekati realitas luar absolut. Untuk itu, maka logika atau penalaran menjadi penting, sebab memang logika atau penalaran itu merupakan bagian yang sangat esensial dari realitas. Karena itu, sesuatu pengetahuan dikatakan benar bukan karena berguna untuk memecahkan masalah atau untuk kehidupan praktis, sebagaimana dianut progresivist, tetapi suatu pengetahuan dikatakan benar karena ia memang benar, jadi kebenaran bersifat intrinsic, bukan instrumental. Jadi, kebenaran merupakan perwujudan dari realitas tertinggi. Sebab itu, uji kebenaran pengetahuan dlakukan melalui uji koherensi atau konsistensi logis ide-idenya (Madjid Noor,dkk, 1987).  
b.      Epistemologi Realisme
Sumber pengetahuan menurut Realisme adalah dunia luar subyek, pengetahuan diperoleh melalui pengalaman dria, atau pengamatan. Kita mengetahui sesuatu jika kita mengamati atau mengalami sesuatu melalui kontak lamgsung melalui pancaindera. Pengetahuan sudah ada di dalam realitas, manusia tinggal menemukannya melalui pengamatan atau pengalaman.
Kriteria kebenaran menurut epistemologi realisme adalah suatu pengetahuan diakui benar jika pengetahuan itu sesuai dengan realitas eksternal (yang objektif) dan independen. Sebab itu, uji kebenaran pengetahuan dilakukan melalui uji korespondensi pengetahuan dengan realitas.
4.      Hakikat Nilai (Aksiologi)
a.       Aksiologi Idealisme
Para filsuf Idealisme sepakat bahwa nilai hakikatnya diturunkan dari realitan absolut. Realitan absolut merupakan hal nyata yang benar-benar ada yang bersifat mutlak. Karena itu nilai-nilai adalah abadi atau tidak berubah. Dalam kehidupan sosial, kualitas spiritual seperti kesadaran cinta bangsa dan patriotism merupakan nilai-nilai sosial yang perlu dijunjung tinggi, dan Hegel menyimpulkan bahwa karena Negara adalah manifestasi Tuhan, maka wajib bagi warga negara untuk setia dan menjunjung negara.   
b.      Aksiologi Realisme
Para filsuf realisme percaya bahwa standar nilai tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam, dan pada taraf yang lebih rendah diatur melalui konvensi atau kebiasaan, adat istiadat di dalam masyarakat ( Edward J. Power, 1982). Sejalan dengan konsep di atas, bahwa moral berasal dari adat istiadat, kebiasaan, atau dari kebudayaan masyarakat.
C.    Implikasi Pendidikan
1.      Definisi Pendidikan
Bagi penganut Essensialisme pendidikan merupakan upaya untuk memelihara kebudayaan. Mereka percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia, sebab kebudayaan tersebut telah teruji dalam segala zaman, kondisi dan sejarah.
Tugas pendidikan adalah mengijinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang tidak terelakan (pasti) bersendikan kesatuan spiritual. (William T. Harris, 1835-1909) maksudnya sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-menurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang kepada masyarakat.
2.      Tujuan Pendidikan
Pendidikan bertujuan untuk mentransmisikan kebudayaan untuk menjamin solidaritas sosial dan kesejahteraan umum (E.J. Power, 1982). Secara umum, essensialisme adalah model pendidikan transmisi yang bertujuan untuk membiasakan siswa hidup dalam masyarakat masa kini. Sekolah yang baik adalah sekolah yang berpusat pada masyarakat, “society centered school” , yaitu sekolah yang mengutamakan kebutuhan dan minat masyarakat (Madjid Noor, dkk, 1987). Konsep dasar pendidikan esensialisme adalah bagaimana menyusun dan menerapkan program-program esensialis di sekolah-sekolah.

Tujuan utama dari program-program tersebut di antaranya:
a.       Sekolah-sekolah esensialis melatih dan mendidik subjek didik untuk berkomunikasi dengan logis.
b.      Sekolah-sekolah mengajarkan dan melatih anak-anak secara aktif tentang nilai-nilai kedisiplinan, kerja keras dan rasa hormat kepada pihak yang berwenang atau orang yang memiliki otoritas.
c.       Sekolah-sekolah memprogramkan pendidikan yang bersifat praktis dan memberi anak-anak pengajaran yang mempersiapkannya untuk hidup.
Contoh sekolah yang mengutamakan kebutuhan dan minat masyarakat adalah SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) karena di Sekolah Menengah Kejuruan ini lebih mengutamakan minat dari individu.
3.      Peranan Guru
Bagi kaum Esensialis, guru seharusnya berperan aktif dalam pembelajaran. Ia sebagai penanggung jawab, pengatur ruangan, penyalur (transmiser) pengetahuan yang baik, penentu materi, metode, evaluasi dan bertanggung jawab terhadap seluruh wilayah pembelajaran.
Guru juga berperan sebagai mediator atau “jembatan” antara dunia masyarakat atau orang dewasa dengan dunia anak, dengan demikian inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik (G. kneller, 1971). Untuk menciptakan siswa yang mempunyai sikap dan perasaan solidaritas sosial dan ikut berperan dalam mewujudkan kesejahteraan umum. Pewarisan nilai-nilai luhur agama oleh sosok guru menjadi titik tekan tujuan pembelajaran esensialisme, dan pembelajaran yang berisikan warisan budaya dan sejarah dan di ikuti oleh keterampilan, sikap-sikap, dan nilai yang tepat merupakan unsusr-unsur esensial dari sebuah kurikulum pendidikan esensialisme.
4.      Peranan Siswa
           Peranan peserta didik adalah belajar, bukan untuk mengatur pelajaran. Belajar berarti menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan kepada angkatan berikutnya ( Imam Barnadib, 1984).  Esensialisme merupakan suatu filsafat yang menghendaki pendidikan bersendikan nilai-nilai yang tinggi dan menduduki posisi substansial dalam kebudayaan. Tugas pendidikan adalah sebagai perantara atau pembawa nilai yang ada di luar ke dalam jiwa peserta didik. Oleh karena itu, peserta didik perlu di latih agar memiliki kemampuan observasi yang tinggi untuk menyerap ide-ide atau nilai-nilai yang berasal dari luar dirinya (muhaimin, 2004;40-42). Menurut esensialisme, pendidikan adalah aktivitas pentransmisian atau pewarisan budaya dan sejarah sebagi inti pengetahuan yang telah terkumpul dan bertahan sepanjang waktu. Warisan budaya demikian perlu di ketahui pelestarian kebudayaan (Education as a Cultural Convervation). Esensialisme memberikan penekanan upaya kependidikan dalam hal pengujian ulang materi-materi kurikulum, memberikan pembedaan-pembedaan esensial dan non esensial dalam berbagai program sekolah dan memberikan kembali pengukuhan autoritas pendidik dalam suatu kelas di sekolah.
5.      Kurikulum
Kurikulum (isi pendidikan) direncanakan dan diorganisasi oleh orang dewasa atau guru sebagai wakil masyarakat, society centered. Kurikulum society-centered menyatakan bahwa pesanan sosial maupun interaksi sosial harus merupakan penentu utama dalam kurikulum. Hal ini sesuai dengan dasar filsafat Idealisme dan Realisme yang menyatakan bahwa masyarakat dan alam (Realisme) atau masyarakat dan yang absolut (Idealisme) mempunyai peranan menentukan bagaimana seharusnya individu (peserta didik) hidup. Kurikulum terdiri atas berbagai mata pelajaran yang berisi ilmu pengetahuan, “agama”, dan seni, yang dipandang esensial. Adapun sifat organisasi isi kurikulum adalah berpusat pada mata pelajaran (subject matter centered).



6.      Metode
Dalam hal metode pendidikan, Esensialisme menyarankan agar sekolah-sekolah mempertahankan metode-metode tradisional yang berhubungan dengan disiplin mental, berupa metode ceramah yang memberikan perubahan perilaku kepada siswa yang muncul dari pengalaman guru. Metode problem solving memang ada manfaatnya, tetapi bukan prosedur yang dapat diterapkan dalam seluruh kegiatan belajar.  Alasannya, bahwa kebanyakan pengetahuan bersifat abstrak dan tidak dapat dipecahkan ke dalam masalah masalah diskrit (yang berlainan). Selain itu, bahwa belajar pada dasarnya melibatkan kerja keras, perlu menekankan disiplin (G. Kneller, 1971).
D.    Tanggapan Kelompok
1.      Pendekatan Scientific dalam Implementasi Kependidikan pada Kurikulum 2013
Bagi aliran filsafat esensialisme guru menjadi pusat (teacher center) dari semua situasi pembelajaran yang berlangsung, baik dalam hal pemberian pengalaman belajar maupun kegiatan belajar mengajar dalam kelas. Guru adalah panutan satu-satunya yang dinilai dapat mengarahkan siswa ke arah yang lebih baik. Nilai guru dimasa lalu yaitu guru memiliki suatu kedisiplinan yang tinggi, religius (lengket dengan agama), memiliki wibawa, bersikap jujur dan bertanggung jawab, beretika, berjiwa besar dan memiliki etos kerja tinggi serta mengayomi masyarakat, kemudian pada sistem pendidikannya masih lengket dengan sistem budaya lokal.
Pada kurikulum 2013 pengajaran yang ada telah diberi buku panduan oleh pemerintah, guru hanya mengikuti apa yang telah tertera didalamnya, penyesuaian pengajaran juga diterapkan kembali, karena dalam kurikulum di SD telah bersifat tematik integrative. Siswa juga dituntut untuk lebih berperan aktif (student center) dalam pembelajaran mengingat peran guru hanya sebagai fasilitator.
Berdasarkan hasil penelitian, pembelajaran  berbasis  pendekatan  ilmiah mempunyai hasil yang lebih efektif bila  dibandingkan  dengan penggunaan pembelajaran dengan pendekatan  tradisional.  Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada  pembelajaran  tradisional, retensi  informasi  dari  guru  sebesar  10  persen setelah 15 menit  dan  perolehan  pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi informasi dari  guru  sebesar  lebih  dari  90  persen  setelah  dua  hari  dan  perolehan  pemahaman  kontekstual sebesar 50-70 persen.
Proses  pembelajaran dengan  berbasis  pendekatan  ilmiah harus  dipandu  dengan  kaidah-kaidah pendekatan  ilmiah. Pendekatan  ini  bercirikan penonjolan  dimensi  pengamatan, penalaran, penemuan,  pengabsahan,  dan  penjelasan  tentang  suatu  kebenaran.  Dengan  demikian,  proses pembelajaran  harus  dilaksanakan  dengan  dipandu  nilai-nilai,  prinsip-prinsip,  atau  kriteria  ilmiah.
Berikut ini tujuh (7) kriteria sebuah pendekatan pembelajaran dapat dikatakan sebagai pembelajaran scientific, yaitu:
1.      Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu, bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
2.      Penjelasan guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
3.      Mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran.
4.      Mendorong dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran.
5.      Mendorong dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran.
6.      Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
7.      Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem penyajiannya.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Aliran filsafat Esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama. Aliran Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah, kurang terarah, tidak menentu dan kurang stabil. Tujuan pendidikan esensialisme adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah melalui suatu inti pengetahuan yang telah terhimpun, dasar bertahan sepanjang waktu untuk diketahui oleh semua orang. Pengetahuan ini diikuti oleh keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang tepat untuk membentuk unsur-unsur yang inti (esensiliasme), sebuah pendidikan sehingga pendidikan, jadi Menurut esensialisme sekolah berfungsi untuk warga negara supaya hidup sesuai dengan prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat.
B.     Saran
Saran penulis bagi pembaca khususnya para pendidik atau guru, yaitu.
1.    Hendaknya tidak meninggalkan nilai-nilai budaya lama dalam hal kependidikan, setidaknya dapat memadukan teknik pengajaran dengan metode lama, karena metode lama juga memiliki nilai-nilai positif untuk diterapkan.
2.    Selalu menjadi figur teladan dan kreatif serta inovatif dalam menciptakan pengajaran-pengajaran yang menarik bagi para siswanya.
3.    Selalu menyesuaikan teknik pengajaran dengan kurikulum yang telah
4.    ditetapkan, kurangi mengeluh dan terus mensiasati segala perubahan yang terjadi dalam dunia kependidikan agar tetap bertahan dan berhasil menjadi seorang guru yang profesional.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2011). Aliran Esensialisme dalam Filsafat. [Online]. Tersedia di : http://kumpulanmakalahdanartikelpendidikan.blogspot.com/2011/01/aliran-esensialisme-dalam-filsafat.html. Diakses 28 februari 2014.
Gusmayani, Indri. (2012). Bedah Buku Pengantar Filsafat Pendidikan. [Online]. Tersedia di : http://indri-gusmayani14.blogspot.com/2012/12/bedah-buku-pengantar-filsafat-pendidikan.html. Diakses 28 Februari 2014.

Kimeunsoo. (2013). Filsafat Eksistensialisme Dan Esensialisme. [Online]. Tersedia di : http://kimeunsoo03.blogspot.com/2013/05/bab-ipendahuluana.html. Diakses 28 Februari 2014.

Syaripudin, Tatang & Kurniasih. (2014). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Percikan Ilmu.
Yusni, N. S. (2012). Aliran Pendidikan Filsafat Esensialisme. [Online]. Tersedia di : http://novasuntiayusni.blogspot.com/2012/12/aliran-filsafat-pendidikan-esensialisme.html. Diakses 18 April 2014.